CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 17 Desember 2008

Feature

Lingkungan Kami Tak Lagi Ramah

Bukit kecil itu nampak gundul waktu itu, disebelah kiri dan kanannya bertumpuk sisa ranting dan dahan kayu bekas tebangan. Disela-sela sisa pepohonan, berserakan serpihan kayu yang ditumbangkan lewat mesin pemotong. Tak jauh dari bukit, hanya sepelemparan batu tepat dipinggir aliran sungai. Tergeletak gelondongan kayu yang hanya hitungan jari.
Kayu tersebut dikelilingi plastik panjang, yang terbentang dari ujung-keujung bewarna kuning, milik Kepolisisan. “kayu ini milik RAPP nak, sudah disita sama Polisi.” Ujar bapak tua yang sedang memancing. Berdiri pada ketinggian bukit, di sekelilingnya terbentang hutan bakau yang di belah oleh aliran sungai kampar. Melirik kearah barat, mata langsung tertuju pada hulu sungai yang bertautan langsung dengan laut lepas.
Bunyi gemericik alam masih peka ditelinga ketika itu. Suara burung dan nyanyian rimba rontok itu, ternyata tak surut sedikitpun. Orang kampung, dengan penduduk asli Melayu, campuran antara perbauran budaya Melayu dengan Bugis itu. Menyebut nama Desa mereka Sungai Buluh, berada di Kecamatan Kerumutan, Kabupaten Pelalawan.
Daerah yang dulunya memailiki hutan rawa yang cukup lestari, banyak ekosistem hidup didalamnya dan beraneka ragam binatang hutan berkembang biak. Namun kini telah rompong tak ubahnya seperti daun yang dimakan ulat. Satu persatu kayu tumbang dengan deru mesin bergemuruh, setelah itu di angkut pakai mobil dengan pengawalan ketat dibelakangnya. “entah kemano dio bao kayu tu, kami tak tau.”. pengakuan Mahmud, kesal.
Mahmud menceritakan, dulunya desa Sungai Buluh terasa sejuk walaupun cuaca panas terik. Tapi itu tidak membuat masyarakat disini gerah dan malas bekerja. 28 tahun Mahmud bermukim didesa itu, banyak masalah datang merusak Hutan. Sebagai sesepuh desa, hal seperti ini menjadi masalah baginya, “coba lihat bukit yang gundul itu” dengan raut marah. Disanalah tempat Mahmud berteduh bersama kawan-kawan sejawatnya diwaktu rehat ketika memancing.
Menghela nafas sejenak, Mahmud melanjutkan lagi cerita berkawan hutan itu. “tahun 1993 ,saya waktu itu baru punya anak satu. Hobi saya memancing, begitu mudah ikan kudapat. Mencari satu rajut ikan pun, itu hanya hitungan jam. Apalagi pakai jalo, satu sampan dapat tu ikan samo awak.” Adakalanya Mahmud senang melihat desanya dulu hutan, kini menjdi sebuah perkampungan yang di kelilingi kebun sawit dan karet. Tapi kenyataan, bukan malah membuat Mahmud senang. “aku cinta hutanku” seraya berujar.
Jarahan hutan yang semakin marak membuat Mahmud berang, ia selalu berupaya agar penebangan hutan tak lagi ada “rasanya sudah cukuplah, lagian illegal logging ini sudah menjadi tanggung jawab pihak kepolisisan.” Tak cukup hanya itu, bagi Mahmud sebagai orang penduduk asli, ia mengku tugas itu bagian dari tanggung jawabnya juga.
Berada sekitar 45 km dari jalan Lintas Timur. Desa Sungai Buluh terbilang dengan kesejahteraan ekonomi masyarakat diatas rata-rata. Hutan bakau yang dulunya masih alami, menjelma menghijau menjadi tanaman sawit berhektar-hektar luasnya. Milik perusahaan dan masyarakat, sebagian. Menempuh desa ini melewati jalan tanah yang cukup luas, milik Pertamina dan PT Sari Lembah Subur yang dibuka 30 tahun silam. Berbekal untuk mencari sumber minyak mentah, akirnya jalan tersebut menjadi akses bagi masyarakat mondar-mandir mencari nafkah.

Tidak hanya di sungai buluh, bekas tebangan menghilangkan pohon besar tumbang satu persatu. Desa Kapau, yang masih bagian dari Kecamatan Kerumutan. Adalah desa seberang Sungai Buluh yang mengalami nasib hutan sama. “tahun 1980 sewaktu Soeharto masih memimpin, masyarakat disini lebih memilih pekerjaan untuk membuka Somel kayu dan bekerja sama dengan para cukong dari Negara tetangga” cerita Kepala Desa Kapau.
Dampak dan pengaruh hutan yang kian memprihatinkan, sebelumnya tak pernah terlintas dalam pikiran masyarakat saat itu. “sekarang sudah banyak yang menyesal” ulas Sukari. Melewati hilir sungai ketika itu, sukari menunjukkan bekas tebangan kayu dan jalan yang dilalui untuk membawa kayu keluar hutan. Dia juga menunjukkan Pelabuhan kecil, milik masyarakat setempat sebagai akses untuk mengaggkut kayu dengan Pompong.
Perjalanan yang kian panjang ketika itu, satu-persatu Sukari menunjukkan beberapa titik, tempat persekongkolan para cukong memutar otak untuk membinasakan hutan. “waktu itu saya masih SMA, dan itupun tidak di kampung. Tapi di Rengat” tambah alumni Universitas Islam Riau (UIR) ini. Sukari yang jarang pulang kampung, waktu sekolah. Hanya sekelebat mendengar cerita dari teman-temannya, “berkeraspun kami, cukong itu bekerja sama dengan orang yang dituakan didesa ini.” tukas Sukari, seperti menyesali pembelalannya yang tak kesampaian saat hutannya direbut oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Bapak dua anak ini, selain menjadi kepala Desa. Waktu luangnya juga ia isi dengan berkebun sawit pemberian orangtuanya. Sebagai kepala desa ia merasa, memberantas illegal logging bagian dari tugasnya.
Perjalanan terus dilanjutkan setapak demi setapak, sambil menyelipkan sehelai rumput di bibirnya, Sukari terus bercerita komat kamit. Sesaat, mata sukari memandang tajam kearah bibir sungai. Seketika ia tampak terhenyak, perlahan ia bicara “coba lihat air sungai itu, dulu tidak seperti ini.” Memang, air sungai tampak keruh ketika itu. Sukari mencoba lagi membolak-balik ingatan masa silamnya, menceritakan sedetil mungkin setiap kejadian yang merambah hutannya. Riak air dengan kemanyun oleh tiupan angin terus mengalir, pertanda pergantian siang dengan petang menjelang.
Air sungai yang menjadi bahan obrolan ketika itu, mengingatkan sukari kepada masa kecilnya. Hilir mudik dipinggiran sungai bersama teman-temannya sambil menenteng sebilah kayu dan benang pancing. Ini tak luput dari tradisi orang melayu, suka memancing disungai. “air ini dulu bersih, batang pohon itu. Tempat kami biasa meletakkan baju dan pancing” sambil menunjuk kearah semak.
Cerita terus mengalir, seperti tak kehabisan bahan. Begitu dalam rasa sesal seorang pemimpin desa melihat lingkungannya kini tak ramah lagi. Penjarahan hutan semasa itu belum menjadi suatu persoalan pelit bagi masyarakat sekitar. Hidup pada tahun 80-an, kebanyakan orang masih berbicara untung. Urusan dampak dan akibat belum saatnya dibahas, itu perkara yang tidak perlu disinggung. Sekarang sebagian meratapi. Hujan lebat dan gemuruh petir sudah menghentakkan perasaan takut pada diri mereka. Banjir dan penyakit yang akan didera sudah mulai terpikirkan. Namun kenyataan, perasaan itu. Seperti mengutip sebuah pribahasa “nasi sudah jadi bubur.”
Bagi Sukari, tidak menginginkan lagi orang-orang merambah hutan. “bagaimana dengan anak cucu kita nanti, apakah dia akan mandi dengan air yang lebih coklat dari pada ini?” tuturnya pedas.
Petang sudah mulai menjelang, Matahari nampak condong kearah Barat. Menelusuri jalan setapak dan melewati jengkal demi jengkal Hutan Bakau. Disekeliling masih jelas terlihat bangunan papan yang sudah mulai roboh tanpa.
penghuni. Sukari menyebutkan barak itu, adalah tempat dulunya masyarakat desa membuka somel. Tak kurang dari 8 buah barak somel, 3 lainnya ditunggu oleh masyarakat sebagai pemondokan untuk menjaga kebun sawit mereka.
Semenjak pemberantasan illog digencarkan oleh Pemerintah. Sukari ingat persis, ketika satu-persatu kayu tersebut disita. Dengan peralatan lengkap, polisi menyita kayu hasil jarahan. Para pekerja dibawa kekantor Polisi dan diperiksa, para cukong berlarian tak tentu rimbanya. Bukan hanya lingkungan yang dirugikan, masyarakat sekitar pedesaan merasa banyak kehilangan. Untung berdagang yang tak seberapa, para pekerja somel selalu menjajakan hutangnya di setiap warung desa setempat. Mereka beralasan “pas gajian dibayar.”
Maysarakat menaruh kepercayaan pada mereka, melihat bekerja disomel kayu sangat menjanjikan ketika itu. “aku menyesal memberikan hutang kepada para pekerja somel, sebelumnya ibu tidak pernah membayangkan kalau akirnya para pekerja dikejar-kejar Polisi.” Pengakuan Martini.
Ditinggal pergi dengan hutang yang bertumpuk diwarungnya, membuat Martini rugi. Satu bulan warungnya tutup, “karna tidak ada lagi yang mau dijual” tukasnya. Kejadian itu masih tersimpan dimemori seorang ibu 6 anak itu, tahun 2000 tepatnya, tidak ada lagi somel yang tersisa di dua desa tersebut. Sebagian masyarakat kehilangan pekerjaan, sebelum mereka akirnya berpindah untuk membuka lahan perkebunan sawit.
Setelah menempuh perjalanan panjang bersama sukari, dan 3 orang pemuda desa. Banyak kasus yang selama ini menyita perhatian masyarakat desa Kapau, tiga orang pemuda yang di bawa sukari, juga mereka yang bengis melihat pembalakan liar. “untung saja sekarang tidak ada,” pungkas salah satu dari mereka. Tidak banyak yang bersisa, hutan disepanjang sungai itu hanya pohon-pohon kecil melintang disepanjang jalan yang ditempuh. Bekas tebangan masih nyata, lebih kurang 1 meter bidang kayu tersebut yang sudah dipenuhi oleh lumut.
Sambil meletakkan kaki kanannya diatas bekas pohon itu, Sukari berujar “kalau ini kita tunggu, mungkin 100 tahun kemudian bisa besar seperti ini.” Sembari menengadahkan kepalanya melihat anak pohon. Kayu jenis meranti ini, memang terbilang kualitas kayu terbaik yang ada di Indonesia. Kekuatan kayu yang bisa bertahan lama, saat dikadikan barang jadi menghasilkan kualitas yang apik. Tak ayal, para cukong beramai-ramai mengejar dengan berbagai cara untuk mendapatkannya.
Hari semakin senja, langkah kaki sudah menunjukkan arah pulang. Sukari terus bercerita, masih banyak tempat-tempat disini yang belum dilacak oleh Kepolisian, katanya. Diseberang desa Kapau masih terdapat lagi desa, yang baru 5 bulan pemekaran. Mak Teduh, nama desa tersebut. Menempuh perjalanan sekitar 5 km dari Kapau, tempat kantor kecamatan berada. Bias dari maraknya illog juga terjadi di desa muda itu.
Penduduk dengan jumlah 54 Kepala Keluarga (KK), dulunya adalah tempat para cukong bertengger bebas mengambil kayu sewaktu masih menjadi bagian dari Desa Kapau, 6 tahun silam. Keragaman masyarakatnya, tidak lagi membuat budaya melayu kental di Desa itu. Segala macam suku, ada didesa kecil ini. Seperti, Batak, Jawa, Sunda dan Minang. Walaupun jauh dari keramaian, boleh dikatakan di pedalaman. Masyarakatnya sudah modern, ini tak terlepas dari banyaknya orang perusahaan keluar masuk desa tersebut.
Masih berada dipinggiran sungai, Desa Mak Teduh memiliki hutan bakau yang cukup luas, tidak berbeda jauh dengan dua desa sebelumnya. Praktek illegal logging lebih bernas terjadi disini. “tidak ada yang berani melarang waktu itu, mereka mempunyai pengawalan ketat orang-orang berbadan besar.” Cerita pak Awal, salah
seorang tokoh masyarakat disana. Ia menambahkan, kecurigaannya saat itu, TNI dan Polisi juga terlibat namun “mereka tidak menggunakan seragam lengkap.” Seingatnya, kejadian itu sekitar tahun 1992 “sudah lama sekali”.
Sisa tebangan, sedikit awal mengulas masih ada pada hutan kalau dilihat. Saat itu malam hari, Awal tak bisa menunjukkan bukti. Keterangan awal sudah memberi gambaran gamblang tentang kasus yang menjadi musuh kedua pemerintah saat ini. Dua tempat perhentian alat berat untuk mengangkut kayu gelondongan, disebutkan oleh Awal. “Jalan itu mereka yang membuat,” ujarnya. Hanya itu yang bisa dikenang masyarakat, namun mengenai hutan tetap menjadi keluhan.
Penyesalan yang tidak luput dari ingatan Awal, pada saat abangnya bekerja sama dengan para cukong. Dan diberikan imbalan besar, karena keluarga mereka termasuk disegani masyarakat kampung. Awal hampir terlibat persekongkolan namun disaat ia masuk kuliah, semua itu mengurungkan niatnya. Disaat mendatangi rumah abangnya yang tidak jauh berada, tempat warung kami bercerita. Sabir nama panggilannya, sedang tidak berada dirumah.
Ingin mengorek keterangan lebih dalam lagi dari Sabir, maksud ingin bersua akirnya tidak mempertemukan dengannya. Ketika Magrib datang, mengakiri cerita seputar Illog bersama Awal. Bergegas pulang kerumah, setelah hari pertama juga menempuh hutan berkelok-kelok bersama Sukari dan pemuda desa. Informasi dan data ini penjelasan langsung dari orang-orang yang pernah menyaksikan setiap inci kasus pembalakan liar yang terjadi di tiga desa, Sungai Buluh, Kapau dan Mak Teduh Kecamatan Kerumutan.
Penangkapan pembalakan liar disekitar hutan disepanjang aliran sungai kampar, lebih tepatnya didesa Sungai Buluh dan Kapau. Merupakan geliat Sukari bersama Mahmud untuk melaporkan setiap ada mesin yang meraung didalam hutan.
Dua sekawan ini, dengan latar Pendidikan yang sama. Sudah pernah membahas seputar maraknya illegal logging, semasa kuliah. topik ini sering ia angkat bersama rekan-rakan Mahasiswa yang lain dalam diskusi. Semenjak itu, rasa kecintaan terhadap lingkungannya mulai tumbuh. Sukarired mulai menjajali setiap ada kejanggalan terhadap hutan.
Gelondongan beberapa buah kayu yang saat ini masih disita oleh Polres Pelalawan, adalah buah dari pengaduan Mahmud kepada Polisi. Kayu yang diduga milik RAPP, ternyata hanya dalih seorang cukong. Kasus ini masih diusut, dengan menahan dua orang tersangka, Polisi terus melacak oknum yang terlibat dalam kasus tersebut. “Program pengentasan illegal logging akan terus kita galakkan, karna ini menyangkut kelestarian hutan di Propinsi Riau” ujar Sudiatmoko, meneruskan PR Sujiptadi (Tribun Pekanbaru).
Keraguan sebagian masyarakat melihat hutan yang semakin tak bertuan, menjadi alasan utama pihak Kepolisian serta Pemerintah Daerah (Pemda) setempat untuk mengusut tuntas kasus buruk ini. Tak ayal demo yang berkaitan dengan illog sering terjadi belakangan. Karna masyarakat sudah mengerti akan dampak yang akan ditimbulkan dikemudian hari.
Prilaku ini tak luput dari kejaran petugas, kongko-kongko yang selama ini terjadi. Ternyata melibatkan seorang Pemimpin Daerah. Tentu masyarakat mengira, pantas selama ini tidak ada sanksi tegas terhadap para cukong yang begitu gontai berkeliaran keluar masuk hutan membawa kayu. Kasus Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jafar. Tidak terlepas dari kongkalikong dengan pimpinan perusaahan. Mengenai pengadaan surat izin penebangan hutan, kepada 12 perusahaan.
Semua pihak yang telah diperiksa, membenarkan Azmun telah menandatangani surat tersebut. Sehingga merugikan Negara Rp 1,2 triliun. Hukuman
12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 600.000.000,-. Dijatuhkan oleh Pengadilan Negri Jakarta Pusat, awal September lalu (Tempo). Dengan sendirinya, bupati yang baru dua tahun lebih kurang menjalani kepemimpinannya, setelah terpilih kembali lewat pemilihan langsung. Tak dinyana mengahabiskan masa tuanya dibalik jeruji besi.
Tentu Azmun tidak sendirian, hutan yang semakin memprihatikan di Kabupaten Tuah Negri Seiya Sekata tersebut. Banyak tangan yang masih belum dibekuk pihak Kepolisian. Untuk saat ini, mereka bisa tertawa. Datang masanya hukum pasti berbicara. Singkat kata, satu persatu oknum yang merambah hutan di Pelalawan selama ini, akan bernasib sama seperti Azmun.
Menyesali hutan di Riau, ketika gubernur dan beberapa pejabat daerah. Menyorot setiap titik hutan yang sudah mulai gundul. Himbauan terhadap pelestarian hutan semakin bergema “kita perlukan kerjasama semua pihak, agar tetap menjaga kelestarian hutan dan memberantas setiap kejahatan penebangan dan pembakaran hutan” pidato Rusli Zaenal, dalam acara penanaman seribu pohon (Riau Pos).
Hutan yang digadang-gadangkan dengan semboyan cagar alam, bagi sebagian masyrakat di Riau. Belum menjadi perhatian, “Kami selalu mengadakan penelitian ke-beberapa daerah di Riau yang marak illegal logging. Beberapa Dosen dan Mahasiswa kami libatkan, agar penelitian kami membawa hasil dan mahasiswa, ada kecintaannya terhadap lingkungan terutama hutan,” ujar Joni S Mundung ketua Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Riau.
Lebih jelas joni menambahkan, dampak akan gundulnya hutan semakin nyata. Ini seharusnya menjadi penghayatan bersama, “lingkungan bukan milik pribadi, milik bersama. Tentu kita juga bersama-sama memeliharanya.”
Penghayatan yang menurut joni, berkaitan dengan kepedulian masyarakat itu sendiri melihat persolan mengenai Illog. Ada masyarakat yang merasa terpancing melihat perbuatan ini sehingga mereka demo, menuntut agar kasus tersebut tidak terjadi lagi. Namun kadang ada sebagian masyarakat yang sengaja menutup mata melihat persoalan ini. “Penghayatan perlu kesadaran, akan saling menjaga lingkungan. Hutan yang jauh dari rumah penduduk, terutama masyarakat kota. Bukan berarti harus lepas tanggung jawab. Karna dalam hutan Bakau yang ada di Riau, begitu banyak terdapat Sumber Daya Alam (SDA).” Tambah Mundung.
Hasil penelitian sementara, Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Universitas Kyoto, Jepang dan Universitas Riau (UNRI). Menyebutkan, banyak potensi yang tersimpan pada hutan bakau di Riau, terutama untuk obat-obatan. Lebih lanjut, penelitian ini akan di pusatkan di Kabupaten Siak.
Penelitian yang memerlukan dana besar, para peneliti berharap ada kucuran dana dari Pemprov. Pernyataan UNRI yang siap mengeluarkan dana awal sebesar Rp 100 juta, masih kurang, mengingat besarnya potenti dan tahapan penelitian yang akan dilakukan.
Pentingnya menjaga hutan, disamping memiliki potensi yang banyak. Dampak yang begitu besar seperti, banjir, tanah longsor adalah kemelut yang kerap melanda daerah di Indonesia belakangan ini. Banjir, salah satunya sering terjadi di Provinsi Riau. Menenggelamkan ratusan rumah penduduk dan membuat mata pencaharian mereka terhenti akibat musibah.
Banjir yang sering melanda Riau, baru terjadi belakangan ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, terjadipun banjir, namun tidak separah tahun ini. Tidak adalagi tempat penahan air pada hutan di Riau, membuat daerah ini akan menjadi langganan musibah banjir setiap tahun.

Ketakutan akan bencana ini, sudah mulai ditanggapi pemerintah. Dalam waktu dekat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengesahkan UU Ilegal Loging, berkaitan dengan penebangan hutan dan pengolahan kayu. Kampanye pemberantasan Illegal Logging berangkat dari keprihatinan akan kerusakan hutan. Tetapi dalam pendekatan ekonomi, Bank Dunia memperkirakan, pemerintah negara-negara penghasil kayu kehilangan pendapatan sebesar €10-15 milyar per tahun. Dalam konteks Indonesia, barangkali negeri ini telah berangkat pada kerusakan lingkungan paripurna. Kartodiharjo mencatat, berdasarkan data Departemen Kehutanan, Januari 2005, hutan Indonesia telah terdegradasi seluas 59, 7 juta hektar dan lahan kritis mencapai 42, 1 juta hektar.Berbanding lurus dengan situasi itu, menurut Kementrian Lingkungan Hidup 2003, Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Salah satu pengkontribusi atas situasi itu adalah kegiatan Illegal Logging.
Sebagai reaksi terhadap situasi diatas, Kabinet SBY, terutama Menteri Kehutanan tentulah sepantasnya mendapatkan apresiasi. pemberantasan Illegal Logging sebagai satu prioritas kerja, telah mengakibatkan beberapa cukong kayu berurusan dengan polisi. Kasus terakhir, kasus Adelin Lis yang cukup menyita perhatian publik.
Masalah Illegal Logging telah membuka katup kekhawatiran sebagian orang dan lembaga pemerintah. Selain di Indonesia, karena Illegal Logging ini telah lintas negara menyebabkan pembahasannya menjadi pembahasan lintas negara pula. Pada September 2001, di Bali berlangsung pertemuan tingkat menteri untuk membahas Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) yang melahirkan deklarasi Bali tentang kesepakatan kerjasama antar negara khususnya negara yang berasal dari asia timur untuk meningkatkan intensitas kerjasama bilateral, regional dan multi-lateral guna pemberantasan Illegal Logging. 18 April 2002 pemerintah Indonesia menandatangani MoU dengan Pemerintah Inggris tentang FLEG untuk pemberantasan Illegal logging dan Illegal timber trade, yang ditindaklanjuti dengan rencana aksi pada Agustus 2002. Salah satu yang terpenting dari MoU dan rencana aksi ini adalah pemenuhan standar legalitas (keabsahan) kayu yang diperdagangkan.(Net)