CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, 18 Juli 2010

Terbang Bersama Lion
Sore pukul 04.30 WIB, tepatnya hari Senin tanggal lima Juli, aku berangkat menuju Yogyakarta. Pesawat mendarat sampai di Jakarta sekitar pukul 05.00 lebih kurang.
Baru pertama kali seumur hidup aku naik pesawat. Ternyata bedanya tidak terlalu jauh dengan naik bus. Bus berguncang waktu masuk lobang, atau melewati jalan rusak. Pesawat juga begitu. Perjalanan diatas ketinggian beribu km, melewati awan, juga terjadi guncangan.
Menuju Jogja, aku naik Pesawat lion Air, Boing 717. Pesawatnya cukup besar. Kalau di ukur, lebih kurang panjangnya 35 meter. Ruangan di dalamnya cukup nyaman, aromanya memberikan kesejukan. Tempat duduknya empuk warna biru, tersusun berjejer memenjang dari kabin depan hingga belakang. Di dalamnya memiliki tiga toilet, satu di depan dan dua di belakang. Aku pernah buang air di toilet belakang.
Pesawat ini mampu mengangkut lebih kurang 150 orang. Walaupun hanya kelas ekonomi, namun cukup memberikan kesan.
***
Suasana baru, langsung terasa diatas pesawat. Empat orang pramugari langsung menyambut ramah dekat pintu masuk ruangan pesawat. “Selamat datang di penerbangan Lion Air” katanya dengan senyum ramah. Setiap penumpang masuk, aku mendengar ia (pramugari) terus mengucapkan perkataan itu berkali-kali.
Pramugari itu mengenakan batik warna kemerahan dengan corak kecil, mereka tampak cantik. Tingginya rata 170 cm. Lebih tinggi 6 cm dariku. Rambutnya diikat rapi. Wajah mereka mulus, kulitnya putih. Tubuh mereka langsing, bak artis. Boleh dibilang tidak kalah dengan bodi Luna Maya. Waktu salah satu dari mereka membantu mencarikan tempat duduk, aku sepintas melihat namanya Chyntia. Aduhai cantiknya. “Lelaki yang mendapatkannya, pasti beruntung,” pikirku.
Semua penumpang sudah menaiki pesawat. Tempat duduk masing-masing sudah pada terisi. Berbagai keluarga terlihat. Ada orang tua, wanita karir dan anak muda sampai anak kecil. Mereka berkumpul dari berbagai jenis suku. Warna kulit yang terlihat pun beragam. Mulai dari putih, sedang, hingga hitam ada disana. Aroma ruangan semula berubah dengan aroma gado-gado alias campur.
Aku mendapatkan bangku no 34 waktu itu. Tapi aku tidak membaca nomor tempat duduk pada tiket sebelumnya. Belakangan aku tahu dari seorang bapak-bapak. Aku seperti orang sok tahu. Begitu juga ketika naik pesawat, kemana arah aba-aba sewaktu mau naik tangga, aku ikut.
Awal naik tangga depan, petugas memberitahu penumpang diatas nomor 20 naik lewat tangga belakang. Aku manut dan terus berjalan hingga naik tangga belakang.
Dalam pikiranku, maksud dari nomor 20 ke atas yang dibilang oleh petugas penerbangan tadi belum bisa aku mengerti. Aku bertanya-tanya dalam hati.
Dalam pesawat, aku mulai binggung untuk pertama kali. Aku menyusuri deretan kursi, hampir sampai di kabin depan. Pada seorang bapak, aku bertanya, “disini bangkunya kosong pak?” tanyaku. Ia menjawab dengan ramah, ”disini udah ada orang nya dek.” “Nomor bangku adek berapa?” tannya nya. Aku gagap tidak tahu nomor bangku, ku tunjukkan tiket, bapak itu melihatnya. Ia mengatakan tempat duduk ku nomor 34 paling belakang, hanya beberapa kursi setelah aku naik tangga tadi. “Kirain naik pesawat sama dengan naik bus, duduknya sesuka hati,” pikirku, sambil menggesek kepala.
Aku langsung balik kanan, menuju belakang. Orang-orang yang sudah duduk rapi di tempat duduknya kaget melihatku, dari tengah pesawat aku balik lagi ke belakang. Sebagian juga kesal karena jalan di sela-sela kursi sempit. Aku perboden. Puluhan orang terus jalan mencari-cari nomor tempat duduk mereka. Supaya tidak terasa sempit aku mengangakat tas tinggi-tinggi, tak peduli bau ketek ku wangi atau malah bau asem.
Sampai di belakang tepatnya bagasi nomor 34, aku meletakkan tas. Ternyata satu orang bapak, anak dan istrinya sudah duduk enak pada bangku nomor 34,35 dan 36. “Sial, tempat duduk ku udah di isi,” aku heran. Aku melapor sama pramugari sambil melihatkan tiket. Ternyata nomor anak bapak itu salah, pada tiket itu terlihat nomor kursinya seperti coretan, tidak jelas. Sebenarnya angkanya nomor empat. Tapi anak itu tetap keuhkeuh dengan nomor bangkunya. “Ini nomor 34 buk,” katanya.
Tidak mau bersitegang, pramugari mencarikan tempat duduk kosong untukku. Tas yang sudah ku tarok pada bagasi 34, ku biarkan dan aku duduk di kabin tengah bersama orang Batak yang ingin mengantarkan anaknya sekolah ke Jakarta. Aku menganggap masalah nomor kursi hanya kesalahan tulisan, pikirku.
Semua penumpang sudah terlihat duduk. Suara dari speaker terdengar memerintahkan penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman demi keselamatan. Mesin pesawat mulai menderu terus berputar untuk lepas landas. Tidak lama kemudian bunyi gemuruh besar terdengar ke dalam kabin pesawat, karena aku duduk dekat sayap pesawat, buntinya memekakkan telinga. Pesawat mulai melaju kencang, setelah itu badan ku terasa berat ke belakang. Ternyata pesawat sudah mulai landing, ditandai dengan matinya lampu kabin pesawat.
Setelah itu berbagai arahan diberikan pramugari saat pesawat sudah terbang dengan sempurna.
Perempuan cantik itu memberikan pengarahan tanpa suara. Hanya menggunakan bahasa tubuh. Menuruti ucapan yang keluar dari speaker.
Menyebutkan jumlah pintu pesawat, jumlah WC dan arahan supaya tidak mengaktifkan handpon dan dilarang keras untuk merokok. Selanjutnya pramugari juga menjelaskan cara mengenakan sabuk pengaman, dan terakhir baju pelampung.
Menjelang pesawat lepas landas, aku memperhatikan terus Bandara Sultan Syarif Kasim, tempat aku menuju Jogja. Entah kapan lagi aku akan mendarat di bandara tersebut.
***
“Pesawat sudah jauh meninggalkan Pekanbaru, udara mulai terasa dingin. Kira-kira aku sudah berada pada ketinggian 1000 km diatas permukaan laut,” pikir ku waktu itu.
Bapak yang duduk disebelahku terlihat tidur pulas. Ku coba pejamkan mata untuk tidur sperti bapak, namun tidak bisa. Koran Tribun Pekanbaru, yang ada di laci kursi pesawat aku baca berkali-kali. Aku memilih membaca halaman olahraga, karena kupasannya bertepatan dengan momen piala dunia. Menarik tentunya untuk dibaca karena empat tahun lamanya menunggu.
Aku membaca tentang kehebatan tim Panzer julukan untuk Timnas Jerman, karena menglahkan Argentina dengan skor telak 4-0. Semua orang tahu, bahwa kedua tim sama kuatnya. Satu tim yang mendominasi setiap pertandingan di Benua Biru, satu lagi tim besutan legenda sepak bola Argentina yaitu Maradona selalu tampil memukau semenjak babak penyisihan group. Dari empat kali pertandingan, tidak sekalipun Argentina kalah. Prediksi ku, paling tidak Jerman hanya mampu bermain imbang dengan Argentina. Tenyata perkiraanku meleset. Mimpi Argentina untuk mengangkat tropi piala dunia untuk ketiga kalinya buyar setelah dihajar Jerman 4-0. Argentina terpaksa pulang dengan kepala tertunduk, karena kekalahan telak yang diterimanya dari Jerman. Dalam kupasan itu jelas Jerman diunggulkan untuk meraih tiket menuju final ketimbang rivalnya Belanda dan Spanyol yang juga satu benua.
Tidak sampai disitu, kupasan koran waktu itu juga menyajikan tentang sosok Mehsut Ozil, pemain muslim berdarah Turki ini memperlihatkan permainan apik selama Piala Dunia berlangsung.
Penampilan pemain berumur 21 tahun ini tidak kalah dengan seniornya ketika mengolah Jabulani dilapangan. Terbukti dengan kehebatannya ia mampu mencetak satu gol dan memberikan beberapa asist kepada rekan-rekannya hingga berbuah gol.
Selain Xavi Hernandes dan Andrea Iniesta yang menjadi favoritku, aku juga menyukai gaya permainan Mehsut Ozil. Beberapa klub besar sudah mengincarnya, antara lain: Barcelona, Celsea, Inter Milan dan Mancester United.
Tentu aku berharap, Ozil dapat bergabung dengan Barcelona selama musim 2010/2011. Di Barcelona, aku tidak sabar lagi melihat tandem Lionel Messi dengan Ozil pada Liga Spanyol dan Campions.
Bosan membaca koran dan membayangkan Ozil bermain dengan Messi, aku mencoba lagi untuk memejamkan mata. Lagi-lagi belum juga mau tidur.
Disaat seperti itu, aku teringat kenangan akan Kota Pekanbaru selama aku tinggal disana. Udaranya yang panas. Sekelilingnya dipenuhi dengan rumah toko. Masyarakatnya yang heterogen. Gedung perpustakaannya nan megah ditambah kantor gubernur yang tampak tinggi menjulang, seolah-olah menjadi ikon Kota Pekanbaru, dan tidak lupa cerita indah sewaktu kuliah bersama teman-teman.
Namun semua itu sudah berlalu. Entah kapan lagi kenangan seperti itu bisa dinikmati lagi di kota bertuah.
Perintah untuk selalu mengenakan sabuk pengaman, terdengar dari speaker. Pesawat sudah mendekati Bandara International Soekarno Hatta. Hanya hitungan menit, pesawat akan mendarat tepat pada pukul 16.50 WIB.
Dalam pikiranku, “belum terasa lama sudah sampai di Jakarta. Wajar kalau bayar tiketnya mahal,” bisik hati ku.
Pesawat mulai mendarat, dan menghembuskan bunyi keras dari knalpotnya. Sedikit ada guncangan sewaktu mendarat karena ban menginjakkan aspal. Aku memalingkan mukaku ke arah jendela pesawat. Di luar, terlihat berjibun pesawat dari berbagai maskapai penerbangan sedang parkir. Berbeda dengan Bandara yang ada di Pekanbaru, hanya satu atau dua pesawat parkir dilapangan.
Pesawat yang ku naiki sepertinya sengaja berputar-putar menuju tempat parkirannya. Disaat seperti itu, ku sempatkan menongak ke luar jendela, semuanya terlihat dengan jelas.
Pesawat sudah sampai pada tempat tujuannya dan berhenti dengan teratur. Para penumpang sudah berebut untuk turun. Lagi-lagi budaya orang Indonesia kelihatan. “Tidak mau antri dan ingin cepat sampai,” heran aku.
Aku coba bersabar, dengan melihat-lihat keluar jendela sambil menunggu para penumpang turun.
Tidak lama kemudian, sebagian penumpang sudah turun. Aku segera mengambil tas yang jauh di belakang, dan segera turun lewat tangga belakang. Sebelum turun, dua orang pramugari cantik mengucapkan terimakasih. “Sama-sama mbak” jawabku.
Diatas tangga, ku ucapkan syukur kepada Allah. Dan menghirup udara Jakarta untuk pertama kalinya. Seandainya aku tidak menyandang tas sebelah tangan. Ingin aku kepalkan tangan dan berteriak.
***
Sampai di dalam bandara, aku bingung untuk kedua kalinya. Hampir saja aku menyerobot keluar dari pintu utama bandara, menuruti orang-orang yang lalu-lalang menuju pintu utama. Ternyata aku harus transit menuju Jogja untuk penerbangan berikutnya.
Di dekat pintu utama masuk bandara, sebelah tiang besar, aku bertanya sama seorang bapak. Rambut depannya sudah mulai habis, badannya tinggi besar, tangan kanannya memegang handpon dan menyandang tas ransel. Aku menebak, mungkin dia seorang pengusaha karena gayanya yang santai.
Saat aku tanya tempat untuk transit, ia menunjukkan dengan tangan kananya ke arah timur. Aku disuruh berjalan lurus, tepat pertama kali aku memasuki ruang bandara paling besar di Indonesia itu.
“Terimakasih pak,” ucapku dengan senyum. “Iya” sama-sama balasnya. Aku langsung menuju tempat transit, disana terpajang benner Pesawat Lion Air kira-kira sebesar papan tulis di sekolah.
Tiga orang berdiri waktu itu untuk mengantri. Tanpa bertanya lagi, aku juga ikut nimbrung. Tiba giliranku, ternyata tidak meleset. “Benar itu tempat transit.” Aku mulai lega setelah transit. Menjelang selesai, resepsionis berpesan kepadaku, agar penumpang transit menuju Jogja segera masuk ke ruang tunggu. Ia menunjukkan arah tangga sebelah kiri dan naik ke atas.
Suasana ibu kota negara mulai terasa. Pemakaian bahasa “loe-gua” terdengar santer diantara para karyawan bandara. Tidak ada lagi yang terdengar memakai bahasa daerahnya masing-masing. Sedikit berbeda tentunya dengan Pekanbaru. Karena masyarakatnya menggunakan bahasa Minang. Kalaupun berbahasa Indonesia, warga Pekanbaru menggunakan bahasa Indonesia yang baku.
Aku mulai menuju ruangan tunggu. Setelah naik tangga menuju ruangan tunggu, ternyata masih banyak lagi ruangan-ruangan lain. “Bingung lagi, bingung lagi” pusing ku. Setelah aku melewati penjaga pintu, aku terus berjalan lurus. Tiba di persimpangan tiga aku binggung memilih yang mana. Di sebelah kanan, ku lihat jalannya sudah di tutup, di depan tidak satu orang pun menuju kesana. Begitu juga disebelah kiri, tidak terlihat satu orang pun. Supaya tidak tersesat lagi, aku mundur kebelakang menuju petugas yang ku tinggalkan tadi. Ia menunjukkan ruangan tunggu untuk penumpang menuju Jogja di ruangan H3. Belok sebelah kiri tempat aku tadi berdiri.
Menjelang masuk ruangan H3, aku memperlihatkan karcis. Aku tahu peraturan itu karena melihat orang yang masuk sebelum ku melihatkan karcis kepada petugas.
Sampai di dalam ruangan tunggu, aku memilih duduk di bangku depan. Waktu itu, tidak begitu banyak orang ku lihat. Diantara deretan kursi panjang bejejer, masih banyak yang kosong. Ruangannya cukup besar, dibagi dua bagian. Aku duduk di bagian sebelah kanan pintu masuk waktu itu, di sebelah kiri ramai terlihat para penumpang yang menunggu. Besar ruangan itu 30 x 25 cm persegi. Lebih kecil daripada ruangan tunggu di Bandara SKK II Pekanbaru. Bedanya, ruangan tunggu bagi penumpang di bandara SKK II di gabung untuk semua jenis penerbangan.
***
Lama menunggu, dua jam ternyata tidak terasa. Ku lewatkan waktu dua jam tersebut sambil mendengar lagu di handpon dan bercerita dengan sesama penumpang menuju Jogja yang kebetulan juga satu kampung dengan ku. Aku masih ingat namanya Adi, dia orang Kerinci. Pergi ke Jogja ingin menjenguk keluarganya.
Penerbangan 684 sudah dipanggil. Namun tempatnya berbeda. Para penumpang menuju Jogja harus pindah ke ruangan lain, “berapa kode ruangannya aku lupa”. Ternyata pesawat yang akan berangkat berhenti dekat ruangan tersebut.
Setiba di pesawat, aku tidak ragu lagi naik tangga yang mana. Untuk nomor bangku 20 keatas, naik lewat tangga belakang dan penumpang satu sampai 20 lewat tangga depan.
Aku duduk pada kursi nomor 11 waktu itu. Tanpa pikir panjang aku langsung naik tangga depan dan mencari nomor kursi. Namun lagi-lagi aku berurusan dengan seorang bapak. Ia minta anaknya gabung bertiga, dan bangkunya diganti dengan tempat duduk ku.
Aku terima tawaran bapak itu, nomor kursi dari nomor 11 pindah ke nomor tujuh. Aku duduk diapit oleh dua penumpang, disamping kiriku duduk laki-laki Cina, orangnya pendiam tubuhnya kurus sama sepertiku. Sebelah kanan, perempuan berjilbab, yang selalu memandang ke arah jendela pesawat, hanya sesekali ia menoleh ke arahku.
Keduanya tidak aku kenali. Ingin aku bercerita, tapi ada yang kurang rasanya karena mereka tampaknya pendiam. Maka ku putuskan juga untuk tidak bercerita. Aku hanya membaca majalah yang ada di laci kursi pesawat.
Sehabis membaca, terdengar suara dari speaker, “pesawat sudah mendekati Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Para penumpang agar tetap mengenakan sabuk pengaman sampai pesawat mendarat dan parkir pada tempat sempurna,” begitu bunyi suara keluar dari speaker itu.
Tidak lama kemudian, pesawat mulai condong. Badanku serasa berat ke depan. Bunyi “whussssssssssss” terdengar begitu kuat dari knalpot pesawat, ditambah hentakan yang terasa berguncang. Ternyata pesawat sudah menginjakkan aspal, dan aku lega. Tempat yang dituju, yaitu Yogyakarta sudah sampai.
Penumpang berebut untuk turun, aku bersabar untuk menunggu. Setelah turun tangga aku menelpon sanak keluarga ku, tidak lupa juga aku kirim sms untuk pacar tercinta.
Awal aku masuk pintu bandara, tampak berjibun para penumpang menunggu barang bawaannya, mereka berdesak-desakan. Aku juga ikut nimbrung, dan menunggu. Selang beberapa menit kemudian, travel bag ku terlihat berputar-putar diatas tempat barang. Aku tidak tahu apa itu namanya. Yang jelas, alat itu berputar, diatasnya banyak tumpukan barang bawaan penumpang. Setelah aku mengambil travel bag, tinggal satu lagi barangku yang belum terlihat. Karton Teh Sariwangi dibalut lakban warna kuning. Beberapa kali alat itu berputar, tiba giliran karton ku nongol, aku merangkulnya dan mengangkat ke lantai. Selesai menunggu sambil berdesak-desakan, aku pergi menuju pintu keluar. Diluar, banyak terlihat orang yang menawarkan jasa angkutan. Kepadaku, sudah empat orang supir taksi menawarkan untuk mengantarku sampai tujuan.
Menjelang keluar pintu bandara, aku menelpon Mas Hamdi, tempat yang akan aku tuju. Ia menyuruhku naik taxi, dan menyuruh berikan handpon kepada supirnya biar dia bisa menjelaskan alamatnya. Setelah menelpon, untuk yang kelima kalinya supir taxi menawarkan jasanya kepadaku. Beruntung supir taxi itu, tawarannya ku terima.
Awalnya aku agak ragu melihat supir taxi itu. Tampangnya sangar, seperti bandit. Tubuhnya hitam lebam. Badannya bongsor, tinggi, dan perutnya buncit. Yang membuat aku percaya, ia mengenakan batik waktu itu dipadu dengan celana kain warna hitam. Kadang tampak juga seperti pejabat.
Orang Jawa terkenal ramah, supir taxi itu menanyakan tujuan ku ke Jogja. Tanpa pikir panjang aku bilang untuk kuliah. Supir taxi itu langsung menceritakan tentang pendidikan di Jogja. Aku terkagum. Sambil membawa barangku, ia terus bercerita sampai keluar pintu bandara.
Sebelum aku naik taxi, perutku terasa lapar. Aku minta izin dulu sama supir taxi untuk makan sate gerobak yang mangkal dekat pintu bandara.
Selesai makan sate, aku melanjutkan perjalanan ke rumah Mas Hamdi. Di perjalanan aku menelpon dia lagi. Kepada supir, ia menunjukkan alamatnya. Sempat juga terkendala, karena dari jalan utama menuju rumah Mas Hamdi harus masuk gang. Tidak lama kemudian, waktu gangnya sudah dapat, handpon ku berbunyi, ternyata kakak ipar ku menelpon. Ia menanyakan aku sudah sampai atau belum? Aku bilang sudah masuk gang, tinggal mencari rumahnya. Ternyata sesudah menelponku ia langsung menelpon istri Mas Hamdi, sewaktu aku sampai di persimpangan tiga, istri Mas Hamdi keluar dari rumah. Ia bertanya, “Bang Tados ya?” sambil memegang handpon, “iya mabak,” jawabku. Aku menebak ini pasti istrinya Mas Hamdi. Ternyata benar. Aku langsung mengeluarkan barang dari mobil, setelah itu membayar taxi. Walau tampangnya seram, tapi supir itu baik hati. Terbukti ia mengantarku sampai tujuan. Anak Mas Hamdi, Balfaz begitu kocak. Ia langsung akrab dengan ku. Menjelang masuk rumah, ia terus memanggilku “oom oom oom oom” beberapa kali. Aku tertawa hahahaha….