CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 14 Maret 2009

Keseharian Sabirin

Keseharian Sabirin

Percikan air dari pecahan plastik akibat tusukan pengais membasahi celana lusuh bapak tua itu. Satu persatu plastik yang masih berisi air, sisa buangan sampah makanan dan minuman. Dipungut dan dimasukkan kedalam karung kumuh warna kuning.
Siang jelang zuhur waktu itu, panas matahari begitu terik. Tubuh cekingnya yang sudah mengkerut bermandikan keringat. Namun sibapak begitu menikmati pekerjaannya. Dia seakan tidak peduli dengan teriakan matahari. Sesaat ia menyeka peluhnya, satu persatu bekas plastik minuman aqua terus dikumpulkan.
Seperti itulah keseharian Sabirin (57), pria paruh baya asal Pariaman, Sumatra Barat, tepatnya dikenagarian sungai Sariak Tujuh Koto.
Awal menjejakkan kaki dibumi lancang kuning, tahun 1972. Sabirin muda, mulai mengadu nasib dikota bertuah ini. Merintis pekerjaan sebagai pengumpul barang bekas, dimulainya semenjak tahun 1995. semua itu dilakukannya dengan iklas. “Bagaimana lagi nak, bapak tidak punya modal untuk menghidupi keluarga. Bapak harus bekerja seperti ini, yang penting halal.” Ucap sabirin sambil tersenyum.
14 tahun lebih kurang ia berpropesi sebagai pembulung, waktu yang cukup lama. Hampir seumur Gagasan. Namun sedikitpun Sabirin tidak pernah merasa kekurangan hidup. Giginya yang hanya tinggal dua, tetap menyunggingkan senyum saat diwawancarai.
Menyandarkan hidup pada sisa plastik minuman dan kaleng bekas. Dikatakan Sabirin, tidak lain untuk kebutuhan makan anak bininya dirumah. Jumlah keluarganya yang lumayan banyak, tujuh orang anak dan satu istri, menjadi 9 orang bersama Sabirin.
Hanya tiga orang dari putra-putrinya dapat mengeyam pendidikan. Ketidakmampuan Sabirin untuk membiayai sekolah anaknya, menjadi faktor utama ia tidak dapat menyekolahkan semua anak-anaknya. “Ketiganya masih SD, kakaknya semua sudah menikah.” Katanya.
Ditengah semrautnya ekonomi, Sabirin tetap setia ditemani sang istri, Ermawati. Istri pertama dan terakir mungkin bagi Sabirin. Wanita yang sudah menemaninya semenjak 34 tahun silam. Begitu setianya sang istri, ketika telat pulang. Esok harinya sang istri memperingati Sabirin agar cepat pulang, “capek pulang jo.” Ujar sabirin menirukan gelagat istrinya.
‘Ajo’ adalah sapaan kepada orang yang lebih dituakan dalam kebudayaan masyarakat Pariaman. Kultur ini sudah menjadi tradisi turun-temurun dari nenek moyang mereka. Dalam bahasa Indonesia, ‘Ajo’ bisa juga diartikan abang.
Tidak terlalu membebankan nasib pada suami, untuk mencari tambahan rejeki. Ermawati bekerja sebagai tukang cuci dari rumah-kerumah tetangga. Setiap hari ia menerima orderan cucian.
Hidup ditengah kehidupan ekonomi alakadarnya, Ajo sapaan sabirin. Ketika matahari mulai menyapa bumi, ia mulai mendayung sepeda onta tua yang berangkaikan gerobak papan disebelah kirinya.
Digerobak itulah, sabirin meletakkan perkakas-perkikis, untuk mengumpulkan barang bekas. Mulai dari karung, pengais, segepok alat bengkel. “Untuk antisipasi kalau nanti ada baut yang longgar.” Tidak lupa juga, seperangkat baju koko dan kain sarung dibungkus dengan plastik, tampak terselip dibagian depan gerobaknya.
Memulai perjalanan disekitar daerah Panam, dari rumahnya yang terletak di Jalan Kubang Raya, Gang Saudara, Kampong Baru, Panam. Kampus Uin menjadi tujuan utama bagi Sabirin. Selesai mengharu biru dari fakultas ke-fakultas. Setelah itu ia terus mendayung sepedanya menuju kampus Unri sekitar 1 kilometer dari kampus Uin.
Setiap kali ada acara dikampus, kesempatan besar bagi Sabirin untuk mengumpulkan bekas botol aqua/plastic dan kaleng-kaleng. Tak ayal dua universitas, Uin dan Unri menjadi target utamanya. “Kadang ada mahasiswa yang menghubungi bapak, disini ada acara pak!” katanya.
Tidak banyak uang yang didapat sabirin dari perolehan jerih payahnya mengumpulkan barang bekas. “Sehari Cuma dapat 50 ribu, itupun ada mahasiswa yang kasihan. Lalu diberi saya uang.” Jauh sebanding dengan kebutuhan keluarganya sehari-hari. 12 jam Ia bekerja mulai dari jam 8 pagi hingga malam hanya mendapatkan uang 50 ribu “itupun tidak pasti” tambahnya sambil menghisab sebatang rokok.
Selama bertahun-tahun ia bekerja sebagai pemungut barang bekas. Suka dukanya tetap ada dialami lelaki kelahiran tahun 1952 ini. Ia kadang sering terkecoh dan tidak dapat kabar saat ada acara dikampus. Ketika Uin mengadakan Wisuda ke-34 pekan lalu, Sabirin tidak mendapatkan kabar, tapi ia tidak menyesalkan itu.
Ditambah lagi resikonya bersepeda, bocor ban misalnya. Sering dialami sabirin. “ Kadang dijalan tidak ada tempat tambal ban, jadi terpaksa didorong.” Kenangnya, sambil tersenyum.
Tidak sedikit juga mahasiswa merasa hiba melihat pekerjaan Sabirin, mahasiswa UR pernah menjanjikan pekerjaan kepadanya sebagai Ofice Boy disebuah kantor. Namun janji itu membuat sabirin kecewa, ia tentu berharap bisa mendapatkan pekerjaan layak. “Sampai sekarang saya tidak pernah lagi dihubungi.” Sesalnya.

***

Sabirin muda dibesarkan oleh keluarga sederhana dikabupaten Pariaman, Propinsi Sumatra Barat, 52 tahun silam. Profesi ayahnya sebagai guru mengaji dan khatib dikampungnya, menjadikan Sabirin seorang anak yang taat beribadah, ia juga mewarisi kepandaian sang ayah pandai mengaji. Hingga saat ini, disamping bekerja sebagai pemungut barang bekas. Malam harinya Sabirin menjadi guru mengaji di mushalla tempat ia tinggal. “Kadang bapak juga mengisi ceramah agama, kalau ada orang yang meminta.”
Tidak mengenal kata lelah sosok Sabirin. Siang hari ia keliling dengan sepeda onta, tak peduli panas maupun hujan. Saat malam datang, ia masih menyempatkan mengajar mengaji untuk anak-anak dilingkungan tempat tinggalnya. Ditanyai berapa gaji dari mushalla. Sabirin menjawab tidak mendapatkan gaji sama sekali, semua itu dilakukannya dengan iklas tanpa mengharapkan imblan sedikitpun.
Sejelek apapun profesi Sabirin, tidak pernah ia mengeluhkan nasib. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum, tanda ia mensyukuri rejeki. Hal yang menarik bagi sabirin, sebagai pembulung,red, tidak menghalanginya untuk memiliki HP. Kepada Gagasan Ia memberikan no HP. “Kalau ada acara telpon bapak ya nak.” Ujarnya berharap.
Azan zuhur mulai berkumandang, disudut gedung PKM dekat tiang tempat Sabirin duduk bersandar. terdengar sayup suara azan dari arah ruangan. “Sudah masuk waktu soalat ya.” Ucap sabirin mengakiri ceritanya.